Sabtu, 18 Desember 2021

Hijrah Riba (part 3)

  lanjutan dari part 2 ....


    Ujian yang kami rasakan adalah saat kurang setahun lagi cicilan. Qadarullah, ada pandemi di negara ini. Pandemi membuat perekonomian melemah. Biasanya banyak bonus yang diterima suami tapi ini nihil sama sekali. Bersyukur tidak ada potongan gaji saja sudah alhamdulillah. Ditambah lagi, ibu dari suami sakit dan harus opname beberapa kali. Butuh biaya yang tak sedikit, apalagi untuk biaya pemulihan yanng mengharuskan terapi berkali-kali. Hingga saat artikel ini ditulis, ibu mertua masih harus berjuang untuk bisa sembuh. Terus terapi agar bisa memulihkan badan, bisa berdiri dan berjalan lagi. 

Tapi tahukah...??

    Menjelang sebulan sebelum lunas hutang riba kami rasanya begitu plong. Kami merasakan begitu Allah SWT mudahkan semua ursan di akhir perjuangan ini. Bantuan finansial dari berbagai pihak datang bertubi-tubi. Dan semuanya tanpa riba, alhamdulillah. Di saat kami sudah merasa habis-habisan ternyata Allah tak pernah meninggalkan kami. 

    Bulan depan adalah bulan yang benar-benar kami nantikan. Berusaha terbebas dari dosa yang selama ini tak pernah kami pikirkan. Astagfirullah... Banyak membaca kalau yang namanya berhutang itu seperti penyakit kambuhan. Sudah pernah coba sekali pasti akan coba lagi untuk kedua, ketiga kalinya. Semoga Allah menjadikan kami istiqomah dengan keputusan ini. Memperbanyak sedekahnnya lagi agar tidak mudah goyah dengan riba. Aamiin aamiin ya rabbal alamin.


Kamis, 02 Desember 2021

Hijrah Riba (Part 2)

 lanjutan dari part 1 ....


    2 tahun kami tinggal di luar jawa, bersyukur bisa lancar mengangsur cicilan hutang. Hingga suatu hari keluar mutasi suami yang mengharuskan kami pindah ke jawa. Bersyukur tentunya karena di jawa pasti harga-harga lebih murah dan tentu banyak pilihan sekolah untuk anak-anak.

     Menjalani hidup dengan berpindah-pindah membuat kami mengenal banyak teman, sahabat yang bisa dikatakan sudah seperti keluarga sendiri. Saling kirim barang atau hadiah menjadi hal yang wajar ketika sudah tidak satu lingkup wilayah lagi. Suatu hari, kami mendapat kiriman buku komik islami sebanyak 5 buah. Mengejutkan sekali, ternyata setelah kami baca dan pelajari komik tersebut membahas banyak hal tentang riba. Sontak itu menjadi tamparan yang sangat keras bagi kami. Merasa tertegur sekali karena begitu banyak hutang riba yang masih kami tanggung. Betapa banyak dosa kami karena seperti  memerangi Allah dan Rasul. Padahal sudah jelas banyak surat yang Allah tuliskan dalam Al-Quran tentang larangan dan bahaya riba. 

    Tibalah aku dan suami berdiskusi, bagaimana inginnya kami untuk keluar dari jerat riba. Keinginan untuk hidup apa adanya saja. Saat ini aset yang kami punya hanyalah rumah. Kalau kami jual rumah tentu akan sangat berdampak besar. Akhirnya kami memutuskan untuk mempercepat jangka waktu cicilan. Tentu dengan konsekuensi bertambah besarnya cicilan setiap bulannya. Yap, ini memang keputusan yang dirasa berat karena setiap bulannya kami masih ada tanggungan orang tua juga. Tapi kami yakin, ketika ingin berjalan di jalannya Allah tentu itu bukan hal mustahil bisa terwujud.

     Banyak perubahan tentu dalam pengelolaan keungan dalam 2 tahun percepatan angsuran ini. Banyak yang gag percaya ketika kami bilang tidak ada uang. Bahkan keluarga sendiripun banyak yang nyinyir ketika kami jelaskan maksud kami yang ingin terbebas riba. 

"Ngapain utang pengen cepet dilunasin?"

"Biarin mengalir aja apa adanya nanti kan lunas sendiri"

"Buat apa percepatan pelunasan segala?"

    Dan masih banyak tentu yang menyalahkan kami tentang keputusan itu. Hanya orang tua kami yanng mendukung saat itu. Tak apalah dianggap hina di mata saudara atau orang lain, yang penting kami berusaha mengikuti jalan Allah. Lalu apakah dalam waktu percepatan pelunasan itu berjalan mulus? Tentu tidak!!! Dalam 2 tahun bertubi-tubi keluarga kami mengalami banyak cobaan. 

Masalah apa saja yang kami harus hadapi? Lanjut ke part 3 yaaa.... 


    

Minggu, 21 November 2021

Hijrah Riba (Part 1)

   Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa (Q.S. Al-Baqarah: 276)


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....

  Setelah menikah, kehidupan ku dan suami Alhamdulillah bisa dibilang lebih dari cukup. Tak menunggu lama, Allah memberikan kami kepercayaan buah hati. Hingga tiba suatu hari suami mendapat uang rapelan dari pekerjaannya. Nominalnya cukup besar hingga kami bingung mau diapakan uang itu. Untuk orangtua tentu sudah kita berikan. Entah tiba-tiba terlintas di pikiran kami untuk kredit mobil keluaran terbaru saat itu. Memang mobil saat itu sangat kami perlukan karena kami merantau di kota lain. Butuh mobil untuk mudik atau jika ada keperluan mendesak untuk pulang ke kota asal. Akhirnya, kami ambil kredit mobil selama 5 tahun. Rejeki masih lancar, hingga anak pertama lahir. Namun, menjadi janggal ketika anak kami sering sakit. Hampir 2 minggu sekali kami periksakan ke dokter. Sembuh lalu kambuh lagi. Anak kami sering batuk, pilek, dan sesak nafas. 

    Selang setahun kemudian, aku hamil anak kedua. Tentu kebutuhan akan semakin bertambah. Sedangkan kami harus masih mengangsur cicilan mobil. Suatu hari suami mendapat tawaran kredit tanpa agunan dari sebuah bank. Banyak pegawai yang ternyata mengambil kesempatan itu untuk kebutuhan ekonominya. Alih-alih kami ingin punya rumah sendiri ketika anak kedua lahir, akhirnya suami memutuskan mengambil pinjaman 200 juta. Untuk apa sebanyak itu? Tentu untuk melunasi mobil dulu, lalu sisanya untuk DP rumah baru. Makin hari terasa makin terlilit saja, bahkan untuk sehari-harinya sudah mulai harus irit. 

   Dan rumah baru yang kami idamkan sudah dapat lokasinya. Hanya saja kami merasa janggal, karena pihak developer meminta kami terus-terusan menambah DP. Alasannya untuk biaya ini itulah. Dan yang paling tidak rasional adalah masalah cicilan rumah yang awalnya developer bilang hanya 1,7 juta/ bulan ternyata berbeda dengan ketentuan pihak bank yakni 2,3 juta / bulan. Masalah ini berlarut-larut sekian lama sehingga kami kesulitan untuk akad kredit padahal sudah masuk DP sebesar 70 juta. Rumah juga tak kunjung dibangun-bangun. Dari semenjak aku hamil sampai melahirkan anak kedua baru akan dilakukan akad kredit KPR rumah. Itupun dengan kesepakatan kami mengangsur 2,3 juta/ bulan dan pihak developer mengembalikan dana kami dari selisih nilai angsuran selama setahun saja (sekitar 600rb x 1 tahun).  

    Ketika anak kedua kami lahir, untuk aqiqahnya saja kami harus menggadaikan cincin pernikahan kami. Tapi alhamdulillah, ada rejeki lebih sehingga hanya 3 bulan saja cincin bisa kami ambil kembali. Selang 6 bulan, suami mendapat SK mutasi pekerjaan untuk pindah ke luar jawa. Sudah tak ada tabungan sama sekali saat itu. Ke luar jawa harus pakai uang pribadi dulu baru nanti setelah beberapa bulan diganti kantor. Saat itu juga rumah kami baru jadi. Tapi namanya perumahan, kami harus menutup bagian depan (teras, pagar) dan juga bagian belakang (tembok dapur). Butuh biaya banyak tentunya. Alhasil kami menjual mobil dan sepetak tanah (simpanan menabung kami dari sebelum menikah). Ya Allah, rasanya saat itu kami punya semuanya tapi tiba-tiba ludes tak berbekas.  

    Agustus (2017) kami sekeluarga boyongan ke luar jawa. Setelah mendapat ganti uang pindah akhirnya kami sepakat untuk melunasi sebagian hutang KPR rumah. Namun tetap juga mencicil kredit tanpa agunan bank sebelah. Kehidupan di luar jawa sangatlah jauh berbeda dengan jawa. Harga apa-apa mahal, Bisa 2 sampai 3 kali lipat dari harga di jawa. Yups, benar saja karena pulau yang kami tempati termasuk wilayah terpencil jadi akses masuk barang-barang pun juga sulit. Wajar jika harga mahal. Untuk mudik pun hanya bisa setahun sekali dengan biaya yang cukup besar. Sekali pulang ke jawa tiket dan akomodasinya bisa mencapai 20 juta lebih. 

   

Lanjut ke Part 2 yaa......