Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa (Q.S. Al-Baqarah: 276)
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....
Setelah menikah, kehidupan ku dan suami Alhamdulillah bisa dibilang lebih dari cukup. Tak menunggu lama, Allah memberikan kami kepercayaan buah hati. Hingga tiba suatu hari suami mendapat uang rapelan dari pekerjaannya. Nominalnya cukup besar hingga kami bingung mau diapakan uang itu. Untuk orangtua tentu sudah kita berikan. Entah tiba-tiba terlintas di pikiran kami untuk kredit mobil keluaran terbaru saat itu. Memang mobil saat itu sangat kami perlukan karena kami merantau di kota lain. Butuh mobil untuk mudik atau jika ada keperluan mendesak untuk pulang ke kota asal. Akhirnya, kami ambil kredit mobil selama 5 tahun. Rejeki masih lancar, hingga anak pertama lahir. Namun, menjadi janggal ketika anak kami sering sakit. Hampir 2 minggu sekali kami periksakan ke dokter. Sembuh lalu kambuh lagi. Anak kami sering batuk, pilek, dan sesak nafas.
Selang setahun kemudian, aku hamil anak kedua. Tentu kebutuhan akan semakin bertambah. Sedangkan kami harus masih mengangsur cicilan mobil. Suatu hari suami mendapat tawaran kredit tanpa agunan dari sebuah bank. Banyak pegawai yang ternyata mengambil kesempatan itu untuk kebutuhan ekonominya. Alih-alih kami ingin punya rumah sendiri ketika anak kedua lahir, akhirnya suami memutuskan mengambil pinjaman 200 juta. Untuk apa sebanyak itu? Tentu untuk melunasi mobil dulu, lalu sisanya untuk DP rumah baru. Makin hari terasa makin terlilit saja, bahkan untuk sehari-harinya sudah mulai harus irit.
Dan rumah baru yang kami idamkan sudah dapat lokasinya. Hanya saja kami merasa janggal, karena pihak developer meminta kami terus-terusan menambah DP. Alasannya untuk biaya ini itulah. Dan yang paling tidak rasional adalah masalah cicilan rumah yang awalnya developer bilang hanya 1,7 juta/ bulan ternyata berbeda dengan ketentuan pihak bank yakni 2,3 juta / bulan. Masalah ini berlarut-larut sekian lama sehingga kami kesulitan untuk akad kredit padahal sudah masuk DP sebesar 70 juta. Rumah juga tak kunjung dibangun-bangun. Dari semenjak aku hamil sampai melahirkan anak kedua baru akan dilakukan akad kredit KPR rumah. Itupun dengan kesepakatan kami mengangsur 2,3 juta/ bulan dan pihak developer mengembalikan dana kami dari selisih nilai angsuran selama setahun saja (sekitar 600rb x 1 tahun).
Ketika anak kedua kami lahir, untuk aqiqahnya saja kami harus menggadaikan cincin pernikahan kami. Tapi alhamdulillah, ada rejeki lebih sehingga hanya 3 bulan saja cincin bisa kami ambil kembali. Selang 6 bulan, suami mendapat SK mutasi pekerjaan untuk pindah ke luar jawa. Sudah tak ada tabungan sama sekali saat itu. Ke luar jawa harus pakai uang pribadi dulu baru nanti setelah beberapa bulan diganti kantor. Saat itu juga rumah kami baru jadi. Tapi namanya perumahan, kami harus menutup bagian depan (teras, pagar) dan juga bagian belakang (tembok dapur). Butuh biaya banyak tentunya. Alhasil kami menjual mobil dan sepetak tanah (simpanan menabung kami dari sebelum menikah). Ya Allah, rasanya saat itu kami punya semuanya tapi tiba-tiba ludes tak berbekas.
Agustus (2017) kami sekeluarga boyongan ke luar jawa. Setelah mendapat ganti uang pindah akhirnya kami sepakat untuk melunasi sebagian hutang KPR rumah. Namun tetap juga mencicil kredit tanpa agunan bank sebelah. Kehidupan di luar jawa sangatlah jauh berbeda dengan jawa. Harga apa-apa mahal, Bisa 2 sampai 3 kali lipat dari harga di jawa. Yups, benar saja karena pulau yang kami tempati termasuk wilayah terpencil jadi akses masuk barang-barang pun juga sulit. Wajar jika harga mahal. Untuk mudik pun hanya bisa setahun sekali dengan biaya yang cukup besar. Sekali pulang ke jawa tiket dan akomodasinya bisa mencapai 20 juta lebih.
Lanjut ke Part 2 yaa......