"Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanallahu wa ta'ala" (HR. Muslim)


Saat ku tulis artikel ini, Asha anakku sudah berumur 2 tahun. Asha adalah anak perempuanku, dia anak keduaku. Awal kelahirannya dia tampak normal saja, memang tangisan pertamanya di dunia tidak begitu kencang. Kami pun tidak curiga dengan hal itu karena Alhamdulillah anak kami normal dari segi kesehatannya. Hingga kami merasakan kejanggalan sampai dia berusia 2 bulanan. Setiap malam dia selalu menangis dan susah tidur. Bahkan dia bisa melek dari jam2 siang sampai malam jam 12 tanpa tidur. Aneh sekali bukan untuk ukuran bayi yang baru lahir. Kami masih tak curiga juga ada apa dengan Asha. Hingga dia berusia 3 bulan dan kami membawanya ke kota Malang, tempat suamiku dinas saat itu, tahun 2017. Di Malang suhu udara lebih dingin daripada di Semarang, kota kelahiran Asha. Jadi dia lebih bisa tidur nyenyak sekitar jam 7 malam setiap harinya.
Hingga pada suatu hari, tetangga kami menyadari bahwa kepala Asha sedikit asimetris (baca : peyang). Aku pikir peyang ini akan berangsur-angsur hilang ketika besar nanti. Dan perkembangan Asha masih wajar, di usia 3,5 bulan dia sudah bisa tengkurap. Namun, menginjak usia 5 bulan Asha sudah bisa mulai didudukkan, suami dan mertuaku menyadari kejanggalan kepala Asha. Kepala dan muka Asha terlihat miring ke kanan (baca : ndegleng/ tengkleng). Kedua telinga Asha terlihat tidak sejajar. Sebagai ibunya tentu perasaan campur aduk pun tertahan di hati. Kenapa kepala Asha? Kenapa bisa begitu? Salah apa kami kenapa harus anak kami yang terpilih Allah menjadi begitu?
Mei 2017, ternyata suami mendapat surat mutasi untuk pindah ke Wingapu, NTT. Tak terlintas sedikitpun gambaran tentang Waingapu. Kota mana itu? Dimana letaknya di peta? Lalu apa di sana bisa mendapatkan pengobatan terbaik untuk anak kami? Akhirnya aku dan anak-anak kembali dulu ke Semarang untuk pengobatan Asha sedangkan suami sudah terbang ke Waingapu lebih dulu.
Langkah awal untuk mengetahui jenis penyakit anakku adalah konsul ke dsa (dokter spesialis anak) yang buka praktik di rumah. Baru masuk untuk diperiksa, dokter langsung bilang untuk fisioterapi dan dirujuklah Asha ke RSUD. Perjalanan baru dimulai... Untuk bisa ke bagian fisioterapi, kami harus konsul lagi ke dokter anak RSUD dulu. Sudah lelah antri hampir 1 jam di loket pendaftaran, harus antri lagi di poli anak. Di poli anak, Asha di tes, kepalanya di tengokkan ke kanan dan ke kiri. Kata dokter ini akan sakit kalau ada kelainan otot lehernya. Namun, Asha bisa nengok kanan kiri dengan normal. Katanya hanya masalah kebiasaan saja yang miring ke kanan. Tapi dokter anak memberikan diagnosa awal bahwa Asha terkena TORTIKOLIS. Yapp... kata tortikolis tidak lagi asing bagiku karena sebelum periksa aku sempet searching di internet dan munculah kelainan otot leher itu. Tortikolis adalah gangguan pada otot leher (memendek salah satu) yang mengakibatkan kepala miring. Untuk lebih memastikan maka kami dirujuk ke poli syaraf.
Di poli syaraf kami pun masih harus antri beberapa menit lamanya. Gak tega banget karena saat itu selain bawa Asha, kami bawa anak pertama kami, Shidqi namanya. Dan saat itu sudah hampir jam makan siang dan kami belum dipanggil untuk konsul. Melelahkan memang tapi ini semua untuk anak kami. Hingga akhirnya kami bertemu dokter syaraf. Dari pertama melihat Asha, terlihat betul memang Asha ndegleng kiri. Beliau merangsang Asha untuk mencari asal suara dari pulpen yang ia ketuk di meja. Di ketuk di sebelah kanan, Asha merespon dengan menengok. Begitu pula dengan arah kiri. Mungkin benar, ini hanya masalah kebiasaan Asha saja. Selanjutnya kami dirujuk ke fisioterapi untuk mendapat terapi leher.
Di poli fisioterapi kami antri kembali karena harus bertemu dokter dulu. Dokterpun menyatakan bahwa ndegleng nya Asha itu karena kebiasan menyusu sebelah saja dan tidak perlu diterapi. Memang betul, dari lahir Asha lebih dominan nenen susu yang sebelah kiri. Dokter menyarankan terapi sendiri saja di rumah dengan berganti-ganti posisi saat menyusui, mengubah posisi tidur, dan mengganjal bantal sisi kanan. Namun dokter berpikir karena sudah sampai di RSUD dan antri berjam-jam silahkan saja kalau mau sekalian terapi. Dan kami menyetujuinya. Hingga kami bertemu terapis yang begitu sabar. Dia malah yang menyatakan bahwa Asha terkena tortikolis. Bukan hanya karena faktor menyusu di satu sisi saja namun memang kesalahan saat lahir. Seketika tangisku membasahi pipi. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya selama ini hingga usia Asha 5 bulan. Terapis memang mengungkapkan belum begitu terlambat untuk terapi leher Asha tapi alangkah lebih baik dan cepat tertolong apabila disadari lebih dini. Jadi kerewelan dia selama ini, yang suka menangis dan tidak mau tidur malam hari bisa jadi dia menahan sakit otot lehernya. Maafkan bunda ya nak... Bunda sama sekalli gag peka !!!
Perlakuan saat fisioterapi tortikolis Asha diawali dengan menyinarkan infra merah ke leher Asha. Fungsi sinar ini adalah untuk melemaskan otot-otot leher sebelum dilakukan
stretching. Ternyata sinar infra merah ini akan bahaya jika terkena mata, jadi butuh perjuangan agar Asha tidak melihat sinar itu beberapa menit. Penyinaran dilakukan pada sisi kanan dan kiri leher sekitar 10 menit. Selanjutnya yang dilakukan terapis adalah pemijatan otot leher yang dilanjutkan dengan
stretching. Gak tega banget lah liat
stretching pada awalnya. Karena leher anakku harus ditarik ke atas, ditengokkan ke kanan dan ke kiri, lalu semacam dipatahkan ke kanan dan kiri.
Flashback, Januari 2017 memang saat lahir di ruang persalinan ada aku dan 1 lagi ibu yang akan melahirkan. Oleh dokter, aku dulu yang ditangani untuk melahirkan. Bisa jadi otot leher Asha terluka saat ditarik keluar. Apapun itu, hanya Allah yang tahu bagaimana prosesnya. Yang terpenting adalah bagaimana otot leher Asha bisa normal. Tangis dalam doa yang menemani setiap hari saat Asha menjalani terapi. Dalam sakit otot lehernya yang memendek sebelah kiri Asha masih bisa memberikan senyum dan kebahagiaan untuk kami.
Hanya ada waktu fisioterapi untuk Asha selama 1 minggu sebelum kami pindah mengikuti dinas suami di Waingapu. Dan terapi hanya mendapat jadwal 3x dalam seminggu. Yaap itu karena terapisnya taunya kita pakai BPJS yang bisa maksimal 2x atau 3x terapi dalam seminggu. Baru sadar kalau kami daftar pakai umum dan semua bayar sehingga harusnya kami bisa datang terapi setiap hari. Kembali air mataku menetes. Ya Allah lalu bagaimana Asha bisa sembuh kalau begini. Kekhawatiranku terus berlanjut karena belum tentu di Waingapu nanti ada terapis yang bisa menangani tortikolis. Pasrah dan bismillah hanya bekal itu yang ku punya untuk tetap semangat berjuang mencari obat Asha.
Agustus 2017, pertama aku dan anak-anak mendarat di Waingapu, NTT. Setelah seminggu sibuk untuk menata kontrakan kami, akhirnya kami menghubungi 3 rumah sakit di sini. Dan alhamdulillah ada 1 rumah sakit, yakni RSUD yang bilang bisa menangani tortikolis. Alhasil, saat itu hari Sabtu kebetulan suami libur kerja dan mejadi awal perjuangan Asha di Pulau Sumba ini.
Jam 07.30 WITA kami masuk ke loket pendaftaran, masih sangat sepi dan dengan cepatnya kami langsung bisa menuju ke bagian fisioterapi. Berbeda kondisi dengan di Jawa, sepagi itupun belum banyak yang antri daftar karena memang belum banyak orang familiar untuk berobat di rumah sakit. Masih banyak kepercayaan masyarakat untuk berobat ke dukun atau orang pintar.
Di poli fisioterapis, bertemulah kami dengan dokternya. Dengan nada halus dokter bertanya kelainan otot leher Asha. Belum selesai bercerita tentang keluhan kami, tiba-tiba seorang terapis perempuan yang masih muda memotong pembicaraan kami. "kena tortikolis ya? Mari saya terapi..." Karena tanpa diperiksa dulu sudah terlihat ndeglengnya kepala Asha. Dalam hatiku, Ya Allah aku yakin Engkau yang pasti punya obat apapun untuk kesembuhan putri kami, mungkin lewat tangan terapis ini.
Dengan sabar, terapis perempuan itu memijit dulu seluruh badan Asha. "Yang sakit kan kepalanya mbak, kenapa dipijit badanya?", "Iya, biar kita kasih rileks dan lemas dulu semua badan baru kita pijat lehernya", kata terapis berambut panjang itu. Ia bahkan tidak menggunakan sinar infra merah untuk melemaskan otot leher. Kata si mbak terapis sinar infra merah memang bisa berbahaya untuk mata anak. MasyaAllah, sejak saat itu, aku menjadi semangat untuk datang terapi Asha. Ada secercah harapan kesembuhan menantimu nak. "Mbak bawa selendang atau jarik?", "Iya saya bawa mbak, tapi untuk apa?", tanyaku pada terapis itu. Ternyata selendang itu untuk membedong Asha saat streching agar dia tidak lari kemana-mana. Awal terapi kami disuruh datang 3x seminggu, lalu berlanjut 2x seminggu, hingga diperbolehkan datang 1x dalam seminggu. Tidak sedikit waktu yang kami habiskan untuk fisioterapi Asha. Hampir 10 bulan lamanya Asha terapi leher. Setiap terapi dia menangis dari awal sampai selesai pijat. Hingga badannya yang awalnya gemuk sekarang menjadi kurus. Kurus badan bukan karena terapi nya tapi karena dia menangis terus saat terapi mungkin itu menguras tenaga dan badannya.
Februari 2018 kami berinisiatif mengontrolkan otot leher Asha ke RSOT di Surabaya. Dokter orthopedi anak langsung tau kalau Asha terlihat masih ndegleng. Diarahkan kami untuk foto rontgen dan beliau mewanti-wanti kami karena kemungkinan terburuknya adalah operasi otot leher. Saat itu hanya doa yang bisa kami panjatkan. Yakin bahwa tanpa operasi anak kami bisa normal. Alhamdulillah hasil rontgen menunjukkan hal baik. Tulang-tulang di kepala bagian bawah tidak miring. Artinya tinggal menunggu hasil USG otot leher. Dan taraaa.... Alhamdulillah panjang otot kanan dan kiri leher Asha tidak terpaut jauh, masih normal. Dan dokter memberikan wejangan harus masih rutin fisioterapi agar posisi kepala Asha bisa simetris.
Sepulangnya kami dari Surabaya, kami konsulkan ke fisioterapi Waingapu. Jadwal semula yang 1x seminggu kami minta ditingkatkan lagi 2x seminggu. Alhamdulillah mereka setuju walaupun dirasa leher Asha sudah membaik. Hingga saat ini, memang kepala Asha tidak bisa 100% lurus terus. Terkadang masih suka kambuh miringnya. Apalagi kalau habis sakit demam, pasti kambuh dan minta dipijat lagi, Namun dengan kondisi saat ini dibandingkan dulu tentunya kami sangatlah bersyukur. Anak kami tertolong dengan fisioterapi, walau tanpa sinar apapun hanya pijatan tradisional terapisnya yang dengan sabar. Lalu Asha dibedong badannya agar tidak banyak gerak. Lalu terapis dengan sigapnya me-streching otot leher Asha. Sempat videoin juga saat terapi dibedongnya.
Alhamdulillah, segala puji syukur hanya kepada Allah SWT kami panjatkan karena ujian ini kami menjadi lebih bersabar ya Rabb. Terima kasih juga untuk kakak Shidqi yang selalu setia mendampingi adek Asha terapi, bunda ayah bangga padamu nak. Terima kasih tak terhingga pula untuk terapis Asha, yang mau mendengarkan dari hampir kami putus asa hingga kami menemukan kepercayaan kembali.